Selasa, 07 Maret 2017

Penjelasan Eksistensi Dalam Perspektif Filsafat Barat

Eksistensialisme




A.              Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. [1]  Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut Dasein (Da artinya di sana, Sein artinya berada).[2]
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.  Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.


B.          Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.[3]  Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1)      Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[4]
2)      Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
3)      Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

C.         Eksistensialisme dan Ajarannya
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah aliran filsafat yang bersifat tehnis, yang menjelma dalam bermacam-macam sistem, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada juga ciri-ciri yang sama, yang menjadikan sistem-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada empat pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Beberapa ciri-ciri yang sama yang dimiliki di antaranya :
1.      Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi adalah khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanitis.
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencenakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3.      Di dalam filsafat eksistesialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yanng masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terutama kepada sesama manusia.
4.      Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongrit, pengalaman eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.[5]
Ada tujuh hal yang di jadikan pedoman dalm pemikiran eksistensialis, yaitu:
a)      Eksistensi mendahului esensi (existence comes before essence).
b)      Kebenaran itu subjektif.
c)       Alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggung jawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya.
d)      Perbuatan individu tidak diprediksi.
e)      Individu mempunyai kebebasan kehendak secara sempurna.
f)        Individu tak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan.
g)      Individu dapat secara menjadi selain daripada keberadaanya.[6]

D.    Konsep Dasar Eksistensialisme
Konsep dasar Eksistensialisme sebagai Sesuatu yang paling bermakna di dalam diri seseorang adalah eksistensi dirinya. Perhatian yang lebih besar terhadap pribadi, terhadap manusia daripada terhadap system yang formal. Konsep identitas menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia. Mengenai ini, Beck (1963) menyusun beberapa paham dasar sebagai konsep dasar falsafahnya yang diambil sebagian besar dari eksistensialisme, sebagai berikut:
1)      Setiap pribadi bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatannnya sendiri.
2)      Orang harus menganggap orang lain sebagai obyek dari nilai-nilai sebagai bagian dari perhatiannya.
3)      Manusia berada dalam dunia realitas.
4)      Kehidupan yang bermakna harus terhindar sejauh mungkin dari ancaman, baik fisik maupun psikis.
5)      Setiap orang memiliki latar belakang keturunannya sendiri dan memperoleh pengalaman-pengalaman unik.
6)      Orang bertindak atas dasar pandangan terhadap realitasnya sendiri yang subyektif, tidak karena realitas yang obyektif di luar dirinya.
7)       Manusia tidak bisa digolongkan sebagai baik atau jahat dari asalnya (by nature).
8)      Manusia berreaksi sebagai kesatuan organisasi terhadap setiap situasi.[7]

E.     Tokoh-Tokoh Eksistensialisme dan Pemikirannya
1.        Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
2.        Jean Paul Sartre
Dalam novel i-semotobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya.[8]
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a)      L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b)       L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
Konsep lain tentang eksitensialisme menurut Sartre ialah Mauvaise Foi dan Kebebasan, Mauvaise Foi menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
Sedangkan Kebebesan menurut pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang.
Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[9]
3.        Soren Aabye Kierkegaard.
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan.
Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[10]
Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan·
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
 Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
4.        Martin Heidegger
Untuk memahami Eksistensialisme Heidegger langkah yang paling tepat yaitu dengan menanamkan kata-kata kuncinya yakni:
a.       Dasein (Da-sein, Being-there) adalah eksistensi manusia di dunia empiris ini.
b.      Seinde adalah baradanya benda-benda (Things yang keberadaanya terletak begitu saja di depan orang (Vorhanden).
c.       Fakticity yaitu suatu fakta bahwa Desein adalah Being yang terlempar.
d.      Existensiality yaitu suatu fakta bahwa Desein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
e.       Forfeiture (Being fallen) yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
f.        Geworfein-sein yaitu situasi keberadaan manusia kongret di dunia ini yang tahu-tahu sudah terlempar dan ada di bumi ini. Ia tidak memilih tetapi suadah dilahirkan dan ada di jagad ini.
g.       Some yaitu kecemasan yang mendalam, cemas akan macam-macam hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia.
h.       Zuhandes (jamak) yaitu lingkup dunia saran-saran alat.
i.        Vorhandenes yaitu lingkup dunia benda-benda.
j.          Angst yaitu ketakutan eksistensial, sebuah rasa takut yang bercammpur cemas, gelisah dan bertanya-tanya muncul dan berkembang dari kesadaran manusia bahwa kelak (tanpa diketahui kapan) ia akan mati.
k.      Sein zum Tode yaitu langkah demi langkah yang menuju kematian.
l.        Entschlossenheit yaitu ketegaran dalam mengahadapi kematian.
m.    Entwurf yaitu persiapan atua rancangan-rancangan budaya yang dibuat begitu menyadari akan eksistensinya guna sungguh-sungguh mengalami dirinya itu eksis..[11]
5.        Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Pokok persoalan eksistensialisme ialah menangkap “ada” atau “berada” (das Sein) dalam eksistensi sendiri.

 
DAFTAR PUSTAKA

Beerling,  R.F, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta :Balai Pustaka.1966), 
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun 2010, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media Hadiwijono Harun, 1980 Sari Sejarah Fisafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius,) 
Hasan, Fuad 1974 Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang.) 
Singgih, Gunarsa D. 1996, Psikologi Olahraga: Teori Dan Praktik ,  Jakarta: Gunung Mulia.
Tafsir, Ahmad, 1992 Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.), cet. ke-2,




[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191
[3] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11
[4] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm192
[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal.148-149
[6] Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.156
[7] Singgih Gunarsa D. Psikologi Olahraga: Teori Dan Praktik ,  Jakarta: Gunung Mulia, 1996, hlm. 9-13
[8] Ibid, hlm. 95
[9] Ibid, hlm. 107
[10 ]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[11] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, ( Yogyakarta: Kanisius, 1980), Hal.150-156
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Posts

Unordered List

Definition List